Ini Katanya Cerita Praktikum ; Bagian Dua


Maklumat pelayanan,
Masoook diaa!!
Selamat pagi keluarga,
Handayani , 'Memang oke!'
Taruna , 'Selalu kompak!'
Yayayayayaya


Selain melakukan interaksi dengan PPKS dalam jumlah besar, praktikum ini menuntut kita membantu satu PPKS sebagai klien untuk dibantu keluar dari permasalahannya. Kalo waktu Praktikum diperpanjang setahun, kayanya gua dan temen-temen bakal mati muda diminta mendampingi penuh sampai ke proses hukum segala macem. Namun, karena waktu yang terbatas alias cuma 3 bulan, jadi kami diminta untuk mendampingi dan membantu Klien untuk keluar dari akar masalahnya aja, yaa yang bisa diselesaikan dalam 12 minggu tentunya dibawah pengawasan peksos aslinya. Ada yang bantu keluar dari trauma, membebaskan klien dari buta huruf, meluruskan cara pandang, melatih kejujuran, membangun motivasi, menejemen emosi, macem-macem lah, tergantung apa yang dibutuhkan klien.

Masing-masing mahasiswa praktikum diminta memilih satu dari sekian banyak PPKS di balai, dan pilihan gua jatuh ke satu anak laki-laki yang saat itu masih 13 tahun. Kalo temen-temen yang lain harus ketemu, ngobrol dikit baru melabeli PPKS tersebut sebagai kliennya, kalo gua baru denger criminal case nya, belum tau namanya, belum tau yang mana orangnya, boro-boro ngobrol sudah auto haqqul yaqin akan menjadikan dia sebagai klien.

Anak laki-laki yang masih 13 tahun waktu itu, dengan tinggi hanya 157 cm dan sempat viral di berita telivisi juga portal online menjadi pilihan gua dalam praktikum 1 ini. Kalo orang-orang pada blind date, gua prefer blind client semenit setelah gua denger kabar anak kecil di tv itu diboyong ke balai pertengahan Maret. Sampai tulisan ini diketik sejujurnya gua takut dia ikutan baca, tapi gapapa lah biar dia tau betapa berkesannya pengalaman gua bisa kenal dia selama 3 bulan belakangan, dan gua sebenernya berharap dia baca tulisan ini sih tapi nanti aja kalo dia udah dewasa, ya minimal 5 tahun lagi lah biar dia bacanya tuh ngerti, paham, kalo sekarang pasti dia bingung dah, namanya juga anak-anak.

Walaupun gua yakin klien gua ini bukan anak-anak biasa, dia beda, dia sangat istimewa. Kalo gak salah interaksi pertama gua sama dia adalah pas mau bimsos, gua liat dia yang baru seminngu masuk balai dengan PPKS yang lebih senior sedang bermain 'permainan penjara' di dekat pintu. Ini nih main adu suit ntar yang kalah diselepet gitu sama yang menang. Nah karena klien gua nih masih bodoh yaa kalah mulu suitnya jadi dia diselepet mulu punggung tangannya sampe ungu dan luka. Ya namanya niat ngerjain, si PPKS senior ini gamau berhenti karena merasa menang mulu dan klien gua juga ga berani menyudahi, namanya juga anak baru. Sampai akhirnya petugas pemateri bimsos masuk, dan mereka menyudahi permainan Dajjal tersebut.

Peserta bimsos duduk bersila melingkari ruangan, tanpa sengaja kami duduk bersebelahan, dia berusaha menyembunyikan luka dipunggung tangannya. Gua yang dari awal tau tangan dia udah luka kena selepet berkali-kali pun membuka percakapan,

"Sakit gak?" tanya gua berbisik.

"Apanya?" kata dia.

"Tangannya lah, tadi gua liat sampe ungu. Coba liat."

Dia menyodorkan punggung tangannya, 

"Enggak kok gak sakit."

"Mana ada gak sakit, ungu gini. Butuh diobatin gak?"

"Enggak usah. gak papa kok," ujarnya sambil menarik tangannya kembali.

"Kalo udah kalah mulu, bilang aja tolak gamau main lagi. Nanti abis bimsos minta obat ya." Kata gua sambil memfokuskan pandangan ke pemateri bimsos di tengah lingkaran.

"Iya," katanya mengangguk.

Mungkin dia gak sadar itu interaksi pertama kami, yang dia inget besoknya gua nyamperin asrama dia siang-siang motong antrean dia ngaji buat ketemu dan memintanya jadi klien selama praktikum. Hari itu dia manggil gua 'Ibu' dan hari itu juga gua ngancem bakal nampol dia kalo manggil 'Ibu' lagi. YAKALE emang gua keliatan kaya ibu-ibu  abis pulang ambil rapot anaknya apa yaa?! 

Gua minta dia yang bantu gua, untuk ngebantu dia. Gua yakin dia gak ngerti sama kaya kalian nih pasti lagi bingung. Nyatanya minggu demi minggu bulan demi bulan memang gua yang dia bantu, memang gua yang banyak belajar dari dia. Sambil melampaui semua tahap penanganan masalah klien mulai dari Engangement, Assessment, Planning, Intervention, Evaluation dan Termination gua bener-bener belajar banyak dari dia. Hidup gua pun selama 2 bulan semuanya tentang dia, yang bikin gua pusing, gak bisa tidur, seneng, ketawa pasti dia lagi, dia lagi. Kayanya ini bakal jadi praktikum paling serius, gak mau kalah sama amin. 

Bahkan saking seriusnya gua gali informasi, sampe seniat itu ngehubungin sahabatnya di kampung, ngontek ibunya, ketemu kakeknya buat menggali informasi yang tepat dan dalem. Jujur gua kesulitan interaksi sama dia, walaupun temen yang lain merasanya proses intake gua baik-baik aja. Gua yang notabene bacot kelas berat harus ngobrol sama dia yang irit ngomong tuh susaaaaaaah banget. Kaya capek gitu nanya ini itu informasi yang didapat gak seberapa.

Belum lagi gua orangnya sangat menjaga mood klien, gua tau dia bakal gak nyaman dan gak nyambung diajak ngobrol saat lagi ngantuk atau bangun tidur, jadi sebisa mungkin gua menghindari ketemu dia atau membuka obrolan saat jam-jam tidur siang. Sedangkan waktu gua di balai sangat sempit.

Beruntung, gua mampu membaca kemampuan dia dalam menulis sejak awal. Yak, salah satu hal yang membuat gua merasa cocok menjadikan dia sebagai klien adalah hobi kita yang sama. Gua senengnya bukan main pas tau hobi dia menulis juga, kaya yang 'Yaampuuun gua kaya ketemu diri gua sendiri versi laki dan versi kecil!', sejak saat itu gua terus menerus meminta dia menuliskan sesuatu yang menurut gua akan membantu menambah informasi buat gua.

Mungkin kalau dia baca tulisan ini dia akan misuh-misuh online karena merasa berhasil gua kerjain hihi. Gua cuma mancing dia buat cerita, gua tau banyak yang mau dia ungkapkan, banyak yang mau dia bagikan, tapi dia gak bisa ngomong langsung, dia gak bisa bacot kaya gua, dan dia harus menulis untuk membuat dirinya tenang. Alhasil gua rutin kasih dia kertas kosong dan note book untuk teman dia cerita, teman dia berkeluh kesah. 

Kemarin, sejak 30 April dia melewatkan ulang tahun, bulan puasa dan lebaran pertamanya di balai. Sendiri, jauh dari orang tua. Dia yang ulang tahun ke-14, dia yang jauh dari rumah, dia yang ga bisa denger ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya, dia yang gak bisa sholat ied dan makan opor bareng keluarga tapi gua yang nangis. Dia gak tau kalo gua nangis, yang dia tau gua orangnya cerewet, seneng mulu, becanda mulu, dan suka berantem. Dia gak liat pas gua bengong dulu pas dibolehin baca note book yang merangkap jadi buku hariannya, dia gak tau gua bangga banget dia nulis dan mengamini setiap apa yang gua katakan ke dia.

Dia gatau kalo gua terharu banget bisa berkirim pesan sama ibunya, dan ngobrol sama kakeknya, yang dia tau gua berani banget dan hebat cepet banget akrab sama kakeknya, yang dia tau, gua selalu punya langkah-langkah besar yang bikin dia terheran-heran. Yang dia tau gua berprestasi, dia gak tau kalo gua suka bolos sama kaya dia. Dia gak akan tau, sampai dia baca tulisan ini. 

Dan dari apa yang dia tuliskan, gua tau dia tulus, gua yakin dia gak sejahat seperti apa yang diberitakan, gua yakin dia sangat menyesali apa yang dia perbuat, gua tau kalo dia takut di sini, dia takut jauh dari orangtua, dia sedih kakeknya sakit karena mikirin dia terancam pidana, dia gak berani melihat masa depannya sendiri, dia takut, dia merasakan kegagalan terbesar pertamanya diusia yang sangat belia. Gua yakin dia beda, bahkan psikolognya kaget ada PPKS yang sanggup nulis berlembar-lembar kronologis di hvs saat anak lain cuma sanggup nulis satu halaman saat tes kepribadian.

Gua percaya dia spesial, gatau kalo tukang martabak.

Dari cara dia bercerita lewat tulisan, gua tau dia anak yang cerdas, gua tau dia jujur, dia gak pernah playing victim menyalahkan korban walaupun kepolisian pun mengatakan memang korban yang memulai penyerangan, tapi gua tau dia merasa bersalah juga, gua tau dia merasa harus bertanggung jawab atas semua ini, tapi gua tau juga dia takut. Walaupun gua dan dia setuju dirinya pemberani, tapi masih ada rasa takut yang lahir, dia takut, dia sebenernya gak berani, dan dia ingin menghilang. 

Gak cuma dia yang hebat, banyak kisah-kisah dari teman PPKS yang plot twist banget dari kasus-kasus mereka. Banyak faktor yang bikin kita berdecak "Ahh coba gak kaya gini..."  rasanya gak adil menyalahkan mereka sepenuhnya. 

Praktikum di balai rehabilitas ini bikin gua bener-bener belajar. Walaupun nyatanya gua yang pontang-panting mikirin materi bimsos untuk diberikan ke mereka, walaupun keliatannya gua yang sering mati kata padahal mantan penyiar di depan mereka, walaupun yang terlihat gua masuk ke sekolah menenteng buku menerangkan satu dua halaman di depan ruang kelas, walaupun yang mereka tau gua bawa-bawa iqro' ngajarin mereka ngaji, walaupun yang mereka perhatikan gua sibuk bicara soal teori ini teori itu, walaupun yang mereka rasa gua hadir menjadi teman baru tempat mereka cerita A sampai Z, masalah dari Timur sampai Barat dan berharap mendapat satu dua patah motivasi untuk jadi alasan mereka bersabar dan tetap kuat.

Sebenernya mereka gurunya, sebenernya mereka yang sibuk-sibuk bawa buku tentang kehidupan ke depan mata gua, mereka yang sibuk mendektekan cara fight, sabar dan tidak banyak mengeluh pada kehidupan.  Malu rasanya mengeluh di depan mereka, di tengah-tengah hidup yang berat mereka tetep bisa becanda, main tebak-tebakan garing, nanggepin gua yang gabut dan suka ngomong gak jelas, ngingetin sholat, bahkan ngasih semangat! yang seharusnya mereka yang dapat.

Anak-anak ini hadir dari berbagai latar belakang dan kasus, Masalah keluarga, pertemanan, pembentukan diri yang tidak sempurna menggiring mereka ke tempat ini. Sampai saat ini gua masih jadi orang yang paling percaya, meskipun mereka pelaku tapi mereka adalah korban. Mereka korban ketidak becusan orang dewasa menciptakan keluarga, dan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak. Walaupun mereka pelaku gua kekeuh bilang kalo mereka korban. Gua yakin selalu ada akar yang berasal dari luar sehingga mampu menumbuhkan pikiran jahat yang menggiring mereka semua kemari.

Gua kenal berbagai macam ketakutan dari mereka, kaki-kaki kecil yang terlanjur patah arah. Sebagian mungkin beruntung punya keluarga yang terus support, berkunjung seminggu sekali, merencanakan pengasingan, kejar paket, dan upaya-upaya selanjutnya agar si anak tetap punya masa depan. Sebagian lagi apes, boro-boro support keluarga, ada yang sengaja dibuang keluarganya setelah tersangkut masalah keluarga lepas tangan,  ada yang dari awal tinggal di jalan, ada yang keluarganya gak bisa dihubungi.

Hati gua selalu hangat tiap merasakan hal baik dan gemes yang mereka buat, gimana ramahnya mereka tiap pagi nyapa teman-teman praktikum yang baru sampai balai, gimana mereka menghormati teman-teman praktikum yang lebih tua, gimana mereka gak pelit menawarkan bantuan atau bahkan memberikan perlindungan, gimana solidnya mereka saling jaga satu sama lain, cupunya mereka nyapu halaman masih sarungan dengan muka bantal, yang nyuci baju sendiri sore-sore, yang bangun tidur ngerendem cucian, yang main gitar kemana yang nyanyi suaranya kemana, yang ngalungin sarung jalan ke masjid sholat berjamaah pecinya miring, yang adzan awal waktu, yang sholawatan di masjid sambil nunggu iqomah, yang murajaah di kamar siang-siang, yang ngomel-ngomel abis teraweh sendalnya ilang, yang masak mi pake air dispenser, yang lagi ngepel mencak-mencak saat kerjaannya diinjek temen, yang nyanyi lagu sedih sambil merem-merem saking hikmatnya.

Banyak banget hal-hal yang bikin gua gemes selama praktikum, yang ngaji iqro' sambil becanda dan gamau udahan kalo belom lima lembar, yang main futsal sore-sore dorong-dorongan, yang abis mandi sore nyisir depan kaca sampe seperempat jam, yang temennya lagi mandi pintunya didobrak terus siram-siraman air, yang abis maghrib nonton ultramen, yang minggu pagi nonton marsha and the bear, yang bengong sambil nonton hafidz Indonesia, yang maen ujan becekan di lapangan futsal, yang nakut-nakutin temennya jadi pocong-pocongan, yang mau bakar sampah apinya mati mulu jadi bolak-balik nyalain kompor ke dapur, yang pas jam besukan ketemu ibu, bapak, atau adeknya langsung berpelukan gemes, yang bilang kangen masakan ibunya, yang bilang kangen suara ngomel neneknya, yang malu-malu kucing saat menceritakan kisah cinta monyetnya! Hal-hal sederhana ini yang menampar gua, kalo yang gua hadapin nih anak-anak lho aseli bukan kaleng-kaleng, apalagi abang-abangan nongkrong depan gang!!

Gua selalu dibikin pulang praktikum bengong-bengon sepanjang jalan karena mikirin cerita demi cerita yang gua dapat setiap hari. Ada yang berbulan-bulan di balai belum dapat kunjungan dari orang tua, entah orang tua nya gatau anaknya direhab, atau orang tuanya terlanjur malu sampe gamau ngakuin anaknya lagi bahkan sekadar angkat telpon dari peksos yang mendampingi pun enggan. Atau anak yang struktur keluarganya udah berantakan, sampai dia bingung nanti setelah bebas harus pulang kemana, anak-anak yang dikirim dari luar pulau yang selama direhabilitas gak pernah dikunjungi karena keterbatasan jarak dan biaya. Anak-anak yang jadi tulang punggung keluarga, anak-anak yang menjadi kepala keluarga, selain memikirkan proses hukum mereka juga harus memikirkan keadaan ekonomi keluarga setelah mereka tinggal. Anak-anak di bawah 18 tahun tapi harus berkutat dengan pikiran-pikiran berat.

Belum lagi vonis-vonis berat yang harus anak-anak ini tanggung, ancama sekian tahun pidana, dioper-oper dari polsek ke lapas satu lalu ke lapas lainnya, menjalani persidangan, perasaan terancam, tertekan. Orang dewasa aja dapat panggilan polisi, pemeriksaan udah merinding pucet gak karuan, apalagi anak-anak?

Selama praktikum gua seperti disajikan buku kumpulan cerita-cerita sedih sedunia, yang sukses bikin gua geleng-geleng kepala atau menunduk dan berusaha menyembunyikan air mata. Gua melihat harapan-harapan besar berkelindan di mata mereka, tak sampai hati menerbangkannya karena mereka sadar kecil kesempatan mereka menggapai mimpi-mimpi itu.

Jangankan menggapai mimpi, sebagian dari mereka sangsi masih bisa diterima saat kembali ke rumah nanti. Sebagian besar anak-anak yang telah selesai direhabilitas diboyong pergi ke luar kota oleh keluarganya, diasingkan, disingkirkan. Bayangin gimana terpukulnya anak-anak itu, dia udah direhab lhooo udah diasingkan di balai berbulan-bulan merasakan harus menopang beban sendirian, kehilangan energi positif diantara anak-anak dengan masalah yang sama, saat pulang masih harus merasa terbuang?

Kadang jeritan-jeritan seperti ini yang gak bisa kita lihat dari wajah-wajah para napi terutama napi anak-anak. kalau ada kasus yang lagi naik, orang-orang berebut menghakimi seolah-olah duduk sebagai hakim dalam sebuah perkara. Sibuk menentukan hukuman yang setimpal, kalau bisa hukum mati dan sudutkan pelaku agar hancur mereka punya masa depan, seolah-olah dia pesakitan dan kisahnya harus disudahi.

Kadang kita sibuk teriak-teriak paling lantang tapi tidak pernah mau mendengar teriakan tanpa suara mereka yang ada di balik bui, yang hidupnya dirundung kekhawatiran. Walaupun gua menuliskan bahwa kehidupan di panti cukup layak bagi mereka, tapi apa yang bisa diharapkan bagi jiwa-jiwa muda yang haus akan kebebasan. Mereka dijauhkan dari orangtua, interaksi mereka dengan dunia luar sangat terbatas, mereka di bawah pengawasan ketat kepolisian, ketakutan-ketakutan akan ancaman hukuman pidana menghantui. Masa-masa dimana mereka harusnya bisa eksplor, mereka banyak-banyak main dengan teman sebaya, duduk di bangku sekolahan, ngerjain guru, pura-pura sakit di UKS, ikutan persami, bikin tugas, nyeplokin telor sama tepung ke temen yang ulang tahun. Meski kasur di asrama empuk, tapi mereka takut terpejam, mereka takut tak sengaja bermimpi.

Gua bukan membela, gua setuju mereka mendapatkan hukuman. Dari kecil, sudah semestinya mereka belajar bertanggung jawab atas apa yang sudah mereka lakukan.

Cepat atau lambat satu diantara puluhan anak itu mungkin bakal ada yang baca tulisan ini, gua mau mereka tau kalo mereka berharga dan masih punya kesempatan untuk menjalani hidup seperti anak-anak yang lain. Cepat atau lambat mereka akan tau kalo gua merasa sangat beruntung sempat kenal mereka dan tetap mau berteman di luar kepentingan praktikum. 

Lewat tulisan yangpanjangbangetanjir ini gua berharap teman-teman tau, di luar sana tidak jauh dari kehidupan kita yang nyaman, banyak anak-anak yang tidak seberuntung kita. Gua berharap kalau mereka ada di sekitar kita terima dia, jangan anggap mereka pesakitan, bukankah semua manusia pernah khilaf? dan bukankah semua manusia berhak diberi kesempatan? Gua berharap teman-teman juga bisa menjadi lebih bijak dalam menyikapi sesuatu, tidak gegabah menghakimi, membalas hal jahat dengan kejahatan pula, bukan sibuk menghakimi, tapi mampu memahami.



Komentar

  1. gue engga paham dengan bimsos itu apa, ppks itu apa.

    tapi gue yakin anak kecil itu sadar, kalo ada yang peduli dan sayang sama dirinya. gue enggak tau juga anak kecil yang lu maksud itu siapa, dan katanya pernah masuk berita, gue enggak tau juga uy. tapi lu udah ngelakuin hal yang mulia kok, bah.

    di paragraf terakhir, gue setuju kalo orang dewasa, jangan memandang buruk kepada orang-orang yang telah melakukan kesalahan. mungkin sikapnya akan beda dengan diri lu, bah. yang berusaha mendekatkan diri kepada mereka. senggaknya orang dewasa enggak melakukan hal-hal yang membuat mereka terlihat seperti penjahat.

    BalasHapus
  2. Wah gile sih ini pasti pengalamannya nggak bakal bisa dilupain sampe nanti tua juga. Banyak banget yang bisa diambil ya. Masalah gue cuma satu nih... ITU NGAPA LAGI SANTAI MANDI MAEN DOBRAK DOBRAK AJA DAAAAAH. Horor.

    BalasHapus
  3. uwow pengalaman yang tak akan terlupakan

    BalasHapus
  4. maen dobrak kayakvideoklipnya jamrud, yang lagu waktu ku mandi wkwkwkwkw

    BalasHapus
  5. dah lama banget gak main main sama blogger lain, hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dunia (tidak) Baik-baik Saja

Au ah Malez

Rumah